Di Balik Gaya "Laid-Back" Pull&Bear: Sejarah, Filosofi, dan Kontroversi Layanan yang Viral
Jika Anda masuk ke mal besar mana pun di Indonesia, kemungkinan besar Anda akan menemukan Pull&Bear. Dengan aroma parfum toko yang khas, musik indie-pop yang keras, dan interior bergaya Californian Industrial, merek ini telah menjadi kiblat bagi anak muda yang ingin tampil effortless.
Namun, di balik popularitasnya, Pull&Bear memiliki sejarah panjang dan, seperti banyak ritel fast fashion lainnya, catatan layanan yang kerap menjadi perbincangan panas (atau "rujakan") netizen di media sosial.
Sejarah: Adik Kandung Zara yang Berjiwa Bebas (1991)
Banyak yang mengira Pull&Bear berasal dari Amerika karena gaya urban style-nya. Faktanya, merek ini adalah murni produk Spanyol.
Didirikan pada tahun 1991, Pull&Bear adalah bagian dari Inditex Group, raksasa ritel yang juga memiliki Zara, Bershka, dan Massimo Dutti. Amancio Ortega, pendiri Inditex, menciptakan Pull&Bear dengan misi spesifik: Mendemokratisasi gaya anak muda. Jika Zara ditujukan untuk wanita karir yang lebih dewasa, Pull&Bear diciptakan untuk remaja dan mahasiswa yang ingin tampil santai tanpa terlihat kaku.
Nama "Pull&Bear" sendiri sering memicu pertanyaan. Tidak ada arti harfiah "beruang" di sini. Nama tersebut dipilih untuk mencerminkan dua tindakan dasar: "Pull" (menarik dari rak) dan "Bear" (memakai/menanggung). Filosofinya adalah pakaian yang mudah diambil, dipakai, dan membuat pemakainya merasa menjadi bagian dari komunitas global.
Review Layanan: Mengapa Sering Viral dan "Dirujak" Netizen?
Meskipun produknya laris manis, pengalaman berbelanja di store Pull&Bear (dan "saudara-saudaranya" di Inditex) sering kali menjadi topik kontroversial di TikTok dan Twitter (X). Beberapa poin yang sering dikeluhkan meliputi:
Stigma "Pramuniaga Judes":
Salah satu topik yang paling sering viral adalah keluhan mengenai sikap staf yang dinilai "dingin" atau judgemental. Banyak konten kreator membuat parodi tentang bagaimana pramuniaga fast fashion menatap pelanggan dari atas sampai bawah (bombastic side eye), terutama jika pelanggan tidak berpakaian stylish saat masuk toko. Padahal, ini mungkin karena tekanan kerja yang tinggi di toko yang fast-paced, namun tetap saja menciptakan citra layanan yang kurang ramah di mata publik.
Antrean dan Kamar Pas yang "Chaos":
Saat musim sale (seperti Black Friday atau Year End Sale), toko Pull&Bear sering kali berubah menjadi medan perang. Tumpukan baju yang berserakan, antrean fitting room yang mengular panjang, dan sulitnya mencari staf untuk meminta ukuran (size) sering menjadi sumber kekesalan pelanggan. Konsep self-service yang diusung terkadang diterjemahkan sebagai "kurangnya bantuan" bagi sebagian konsumen Indonesia.
Paper Bag Berbayar:
Kebijakan kantong belanja berbayar (yang sebenarnya merupakan langkah positif untuk lingkungan) sempat memicu perdebatan kecil di kalangan konsumen yang merasa sudah membeli barang mahal namun masih harus membayar untuk kantong kertas.
Kesimpulan: Cintai Barangnya, Maklumi Layanannya?
Terlepas dari kontroversi layanannya, Pull&Bear tetap menjadi juara karena satu hal: Desain. Mereka berhasil menyajikan tren terkini dengan harga yang masuk akal. Jaket denim, hoodie, dan sneakers mereka adalah item wajib punya bagi Gen Z.
Namun, sebagai konsumen cerdas, tantangan sesungguhnya bukan pada pelayanannya, melainkan pada durabilitas. Barang fast fashion diproduksi massal dengan material yang sering kali tidak setangguh merek luxury. Sepatu sneakers Pull&Bear yang trendi, misalnya, sering kali menggunakan bahan sintetis dan lem yang rentan jebol jika terkena air banjir atau tidak dirawat dengan benar.
Di sinilah peran perawatan ekstra diperlukan. Jangan biarkan sepatu hits Anda berakhir di tempat sampah hanya karena kotor atau sedikit lem terbuka. Cleanwear Indonesia hadir sebagai solusi untuk fashion kalian.